Jumat, 15 Februari 2008

CERPEN


PELAJARAN BUAT KAYLA

13 September 2007

“Kayla, mama dan papa akan bercerai,” ujar mama seraya membelai rambutku.

Perkataan mama seperti petir di siang bolong untukku. Ada apa ini? Bukankah selama ini keluarga kami harmonis? Aku. Kayla Annisa. Seorang anak tunggal yang hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat menyayangiku. Aku memiliki semua yang mungkin tidak dimiliki teman-teman yang lain. Orang tua yang penyayang, perhatian, dan mengerti tentang warna-warni kehidupan remajaku, serta ”bernaung” di bawah kekayaan orang tuaku. Tapi, sekarang kenapa mereka memutuskan untuk bercerai? Keputusan yang sangat tiba-tiba di awal bulan suci Ramadhan.

”Mama serius?” sahutku dengan suara serak. Aku merasa tidak lama lagi air mataku akan menitik. Kulihat mama hanya mengangguk.

”Tapi kenapa, ma? Selama ini bukannya papa dan mama tidak ada masalah?” tanyaku tidak puas dengan anggukan mama. . Dan kali ini aku tidak bisa menahan air mataku yang dengan cepat memberontak keluar dari pelupuk mata.

”Kamu gak akan mengerti dengan masalah ini, kalau saja....” sahut mama yang cepat-cepat kupotong.

”Ceritakan dan akan kayla coba untuk mengerti!”

Bukannya menjelaskan padaku, mama malah beranjak pergi menuju kamarnya.

Aku tidak tahu harus berbuat apa.

******

”Kayla, lo gak puasa?” Gina memergokiku yang sedang menyantap roti isi.

Aku hanya memandangnya sekilas dan mengedikkan bahu. Dan tetap melanjutkan makan siangku yang kulakukan di gudang belakang sekolah.

“Kayla, gue nanya lo gak puasa?” tanya Gina lagi.

“Gak punya mata ya? Jelas-jelas lagi makan gini, masih ditanya lagi puasa apa enggak. Bego!”.

Gina tersentak. Jelas sekali orang yang ia lihat saat ini bukan aku, Kayla yang biasanya. Mungkin seperti itu pikirannya saat ini.

”Lo kenapa, Kay?”tanya Gina lagi setelah berhasil menenangkan diri.

”Gue gak kenapa-kenapa, gue baik-baik aja. Lo bisa ngeliat sendiri, kan?”

”Tapi, lo bukan kayla yang gue kenal.”

“Hahaha, emang lo siapa? Ampe ngerasa udah kenal gue luar-dalem?!” ujarku.

Gina terus menatapku heran. Dan aku mulai jengah dengan tatapannya itu.

“Penting ya, ngeliatin gue kayak gitu?”tanyaku akhirnya.

“Kay, mungkin bener gue belom kenal elo luar-dalem. Tapi gue yakin sekarang lo lagi ada masalah, kan? Kalo lo mau, lo bisa cerita ke gue.”

“Halah, basi lo!”.

Aku berlari meninggalkan Gina yang masih bingung dengan sikapku. Tapi aku tidak peduli. Aku terus berlari menuju kelas untuk mengambil tas, lalu pergi.

“Lo mau kemana, Kay?” tanya Wahyu, ketua kelasku.

”Bukan urusan lo!”.

Aku memutuskan untuk pergi ke taman kota yang biasa kudatangi kalau sedang ada masalah. Disana aku merasa lebih tenang. Aku bisa melepaskan semua emosiku, aku bisa melupakan sesaat semua masalahku dan aku bisa menangis sepuasnya disana. Setelah merasa tenang, aku memutuskan untuk pulang. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Ketika Aveo yang kukendarai memasuki gerbang halaman rumahku, aku melihat papa dan mama sedang bertengkar di depan pintu. Ada apa ini? Segera aku kendarai mobilku lebih cepat, agar aku bisa mengetahui penyebab pertengkaran mereka.

Baru saja aku keluar dari mobil, papa sudah menuju mobilnya.

”Pa, ada apa ini?”cegatku.

Papa tidak menjawab, ia hanya memandang sekilas lalu melengos masuk kedalam mobilnya.

”Pa, jangan pergi!!” aku menangis, mengejar mobil papa yang mulai beranjak pergi.

Aku terduduk lemas. Papa yang selama ini penuh cinta sudah tidak mempedulikan aku, anak tunggalnya. Kurasakan mama mendekatiku dan menyentuh pundakku.

”Biarkan papamu pergi. Kamu lihat sendiri kalau dia tidak peduli sama kamu,”ujar mama sambil mencoba mengangkat tubuhku.

”Ma, ada apa sih sebenarnya?”

”Kamu tidak perlu tahu. Sekarang yang perlu kamu lakukan, pikirkan dengan siapa kamu mau ikut. Mama atau papa?”

”Lebih baik Kayla mati daripada harus milih!”

Aku berlari menuju mobilku. Kutancapkan gas, tidak kupedulikan teriakan mama. Gas terus kutancapkan laju tanpa tahu tujuan. Aku bingung harus kemana, hingga akhirnya kuputuskan untuk mengemudikan mobil ini menuju rumah Gina.

”Kayla, lo kenapa?”pertanyaan itu langsung tertuju kepadaku ketika Gina membukakan pintu rumahnya.

”Na, gue boleh nginep disini?”

Gina tidak menjawab. Ia hanya mengangguk dan mengajakku masuk. Sepertinya tidak ada orang dirumahnya, terlihat dari suasana yang sepi. Gina terus menggiringku hingga ke kamarnya.

“Lo mau cerita apa?” tanya Gina yang sepertinya mengerti dengan kedatanganku.

“Orang tua gue bakal cerai, Na!”ujarku dengan penuh emosi..

Gina diam. Entah ia diam karena tak bisa berkata-kata atau ia diam untuk memberiku waktu mengeluarkan semuanya.

“Gue gak tau apa yang salah. Gue ngerasa selama ini semuanya sempurna, papa dan mama yang sayang sama gue. Papa yang setia dan mama yang sabar dan lembut. Gue ngerasa hidup gue dah lengkap, Na.”

”Mereka bercerai pasti ada alasan yang jelas,”jawab Gina akhirnya.

“Apa alasannya, Na? Sampai-sampai mereka rela ngorbanin gue!” suaraku mulai meninggi.

Gina tidak menjawab. Ia hanya diam. Begitupun aku. Aku merasa lelah, tidak tau harus berkata apa lagi. Capek.

“Jadi ini alasan elo enggak puasa?”tanya Gina yang mulai bosan dengan suasana hening yang tercipta.

”Hahahaha, gak ada gunanya juga gue puasa. Apa dengan puasa orang tua gue bakal batal bercerai?”ujarku sinis.

Gina beristighfar. Ia memandangku dengan rasa penuh kasihan.

”Udah berapa hari lo gak puasa?”.

”Puasa dah berapa hari? Segitu juga gue gak puasa. Kenapa?”ujarku.

Gina beristighfar kesekian kalinya.

“Sia-sia kalo gue ikutan puasa. Sama sia-sianya dengan ibadah gue selama ini. Gue sholat, sedekah, puasa, semuanya yang wajib gue lakukan. Tapi kenapa sekarang Tuhan jahat banget ama gue?! Kenapa Tuhan berikan cobaan ini ke gue? Kasih gue alasan untuk tetap berpuasa, Na! Toh, akhirnya mereka tetap cerai” seruku.

”Astaghfirullah! Lo gak sepantasnya ngomong kayak gitu, Kay. Allah ngasih cobaan ke elo, karena Allah masih sayang sama elo.”

”Sayang? Gak salah tuh?” tanyaku lagi.

Gina tampak putus asa. Sampai pada akhirnya ia meraih tanganku, membawaku keluar. Dan sekarang aku berada dalam mobilnya.

“Na, kita mau kemana?”dengan rasa heran aku bertanya pada Gina.

”Ke sebuah tempat yang bisa membuka hati elo. Karena gue yakin hati elo belum tertutup rapat dan masih bisa untuk disadarkan,”jawab Gina sambil mengenakan seat belt.

Setelah itu, suasana di dalam mobil hening bercampur tegang. Karena Gina memacu mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Aku saja sampai berkali-kali mengingatkannya.

Aku menghela nafas lega ketika Gina mulai memberikan perlambatan pada laju mobilnya. Gina memarkirkan mobilnya tepat di depan sebuah rumah tua. PANTI ASUHAN HARAPAN BANGSA.

”Ayo turun! Insya Allah, mata elo bakal terbuka lebar dan mengerti arti hidup sebenarnya disini,”ajak Gina.

Aku hanya mengikutinya. Jujur, aku masih bingung dengan maksud Gina mengajakku kesini. Sebuah panti asuhan?

“Assalamualaikum”Gina mengucapkan salam sesampainya kami di depan pintu panti asuhan tersebut.

Tak lama kemudian terdengar jawaban atas salam Gina.

”Nak Gina, ayo silakan masuk! Sudah lama tidak kesini?”ujar seorang Ibu separuh baya yang baru saja membukakan pintu.

”Maaf ya, bu. Belakangan ini Gina sibuk, mama papa juga sibuk. Ibu pasti ngerti, kan?” Gina menjawab sambil menciumi punggung tangan Ibu tersebut.

Ibu itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu, pandangannya beralih kepadaku.

“Ini Kayla, teman Gina,” kata Gina seperti mengerti pandangan Ibu tersebut.

“Oh, Ibu kirain siapa. Saya Ibu Ratih, pemilik panti asuhan ini,” ibu itu memperkenalkan dirinya.

Aku tersenyum kaku.

Gina lalu mengajakku ke dalam untuk melihat suasana panti asuhan.Awalnya aku tidak mau tapi setelah dipaksa oleh Bu Ratih, aku mau walaupun sedikit enggan.

Setelah melihat anak-anak di panti asuhan ini dan saling bertukar cerita dengan mereka, aku terharu. Ya Allah, segitu lemahnya kah hambaMu ini? Mungkin hidupku selama ini lebih mewah dibanding anak-anak di panti asuhan ini, tapi hidupku tidak sebaik hidup mereka. Mereka tidak mempunyai orang tua, cobaan mereka lebih berat tetapi mereka bisa menghadapinya dengan senyuman. Mereka tegar dan sabar. Aku merasa sangat kerdil diantara anak-anak panti asuhan ini.

”Kalian gak pernah merasa apa kalau Allah udah gak berbuat adil sama kalian?” tanyaku.

”Naudzubillahi min dzalik! Insya Allah perasaan itu gak akan pernah terlintas sedikitpun, kak. Aku hanya mencoba untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan, Allah itu Maha Adil. Aku tau semua cobaan yang Allah berikan, karena Allah sayang sama aku, Dia peduli sama aku,” jawab Opie, salah satu anak di panti asuhan Harapan Bangsa.

Aku tersentak dengan jawaban tersebut. Seorang anak yang mungkin tidak pernah tahu siapa orang tuanya, masih bisa berpikir seperti itu. Lalu bagaimana dengan aku? Aku tahu siapa orang tuaku, kehidupanku selama ini berkecukupan dan bisa dibilang aku memiliki segalanya. Tapi mengapa aku sudah begitu berani menyalahkanMu, Allah? Padahal Engkau baru memberikan sedikit ujian padaku Ya Allah, maafkan hambaMu ini. Tak kusadari air mataku sudah menggenang di pelupuk dan siap untuk ”terjun bebas”.

”Na, makasih yah! Lo dah ngajak gue kesini, gue jadi dapet pelajaran berharga yang gak akan pernah gue lupain. Makasih banget,” kataku ke Gina dengan mata berkaca-kaca pada saat aku, Gina, dan Bu Ratih sedang duduk di ruang santai panti asuhan tersebut.

”Sudah seharusnya sesama umat muslim saling mengingatkan. Besok gak ada lagi dong Kayla yang diam-diam makan di gudang belakang sekolah?” ujar Gina seraya menyindirku. Aku tersipu malu.

Pada saat jam menunjukkan pukul 11 malam, aku dan Gina pamit.

****

22 Agustus 2009

Ramadhan 2 tahun lalu merupakan ramadhan yang penuh berkah. Aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Yah, walaupun orang tuaku tetap bercerai. Alhamdulillah, aku bisa menerima perceraian orang tuaku dengan ikhlas dan lapang dada. Makasih banget buat Gina, semoga tenang ”disana”. Aku mendapat kabar Gina meninggal karena kecelakaan, setahun setelah kepindahanku ke Semarang. Gina adalah orang yang paling berjasa dalam menyadarkanku pada waktu itu, aku tidak akan pernah melupakannya. Sekarang aku tinggal sama mama yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, tinggal bersama eyang. Sedangkan papa tetap tinggal di Jakarta bersama istri barunya. Walaupun aku dan papa tinggal berjauhan dan terpisah, papa tetap menyayangiku. Seperti kata bu Ratih yang akan selalu kuingat.

”Mereka bercerai bukan karena mereka tidak peduli lagi, bukan karena mereka tidak mau mencoba. Mereka sudah berusaha tapi mereka gagal. Dan bila mereka bercerai, mereka tetap ada di dekat kita, mengawasi, dan tetap memberikan cinta pada kita.”

”Kayla, ayo buka puasa dulu!” teriak mama, menyadarkanku yang tengah bernostalgia dengan buku harian Hello Kitty yang sudah kelihatan lusuh.

”Iya, ma!”

Kututup buku harianku. Dan aku segera berlari menuju ruang makan di lantai bawah untuk berbuka puasa.

Tidak ada komentar: