Kamis, 14 Februari 2008

CERPEN

Kisahku Dalam Dilema

Aku terlahir sebagai seorang bungsu dari 3 bersaudara dalam sebuah keluarga yang menurutku sempurna. Sebuah keluarga dengan seorang ayah yang bijaksana, ibu yang disiplin, dan 2 orang kakak perempuan yang cerewet dan usil. Kami semua bahagia. Tetapi dibalik kebahagiaan itu, aku dan kakakku memiliki masalah yang mengganjal sejak dulu. Kami hidup dalam keluarga yang dinakhodai leh seorang ayah yang protektif dan diktator. Walaupun, kata kedua orang kakakku akulah yang paling enak hidupnya.

Aku diperbolehkan mengendarai motor, bisa jalan bersama teman-teman, ataupun bisa dikabulkan apapun permintaan hatiku. Mereka tidak tahu saja bahwa dibalik keenakan hidupku itu aku dilimpahkan keinginan ayahku yang rasanya sulit untuk kuwujudkan, keinginan ayahku yang terpendam sejak dulu. Salah satu anaknya harus ada yang masuk ITB dan tentu saja aku, si bungsu. Karena, kakakku yang pertama saat ini sudah lulus sebagai sarjana psikologi dan sedang bersiap-siap memasuki bangku perkuliahan S2 mendapatkan gelar psikologi, dan kakakku yang kedua saat ini tercatat sebagai mahasiswi FMIPA-Kimia UNPAD. Yang terakhir? Aku, si bungsu yang sudah diarahkan untuk masuk dalam dunia perkuliahan di kampus ganesha.

Ya, aku sejak SD sudah diarahkan oleh ayahku untuk kuliah di ITB. Sebagai seorang anak yang masih polos, tentu aku setuju-setuju saja. Sejujurnya, saat SMP aku juga memiliki hasrat yang sama seperti ayahku, masuk ITB. Tetapi setelah aku menjadi siswi putih abu-abu, aku merasa ada sesuatu yang lain. Aku merasa ITB bukanlah jalan hidupku yang sebenarnya, melainkan aku dipaksa belok dan mengikuti alur jalan itu oleh ayahku. Aku ingin menjadi mahasiswi yang bernaung dibawah bendera Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, jurusan ilmu komunikasi. Tetapi sayang ayahku tidak mau mengerti akan hal itu.

Mungkin aku bisa sedikit mengerti mengapa ayahku bisa seperti itu kepadaku, tapi hanya sedikit. Ayahku terlahir sebagai anak pertama dalam keluarganya dan ia lah penopang hidup keluarganya. Sejak kecil ayahku sudah terbiasa susah. Pergi sekolah dengan berjalan kaki menelusuri rel-rel kereta api. Jarak yang ia tempuh bukannya dekat, tapi 10Km yang harus ditempuhnya. Tanpa sarapan dan tanpa bermodalkan uang disaku. Untuk membayar uang sekolah pun ayahku harus bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik tekstil. Tapi untungnya ayahku adalah seorang siswa yang disayang oleh guru-gurunya sehingga ayahku dibebaskan dari pembayaran uang sekolah.

Karena itulah ayahku sangat ingin aku masuk ITB. Aku tidak mau, itu bukan bakatku walaupun ibuku sudah memaksa agar aku mengerti mengapa ayahku seperti itu, ayahku ingin ada seorang anaknya yang meneruskan langkah perusahaan yang telah ia dirikan dengan susah payah hampir 20 tahun, dan yang jelas perusahaannya itu bergerak dalam bidang teknik. Dan aku di teknik? Sampai hujan berkelir juga tidak akan mungkin bisa karena itu bukan keahlianku. Tapi tidak mungkin juga aku ”mendurhakai” keinginan orang tua sendiri. Dengan berat hati aku mengatakan ”Anih mau masuk ITB” dan senyum senang jelas terlukis di wajah senja bercahaya itu. Walaupun sebenarnya hati ini menolak. Sampai kapan pun keputusanku itu akan kusesali seumur hidupku..

Sampai saat itu tiba. Aku mengikuti lomba Presenter&Penyiar di salah satu toko buku terbesar di kota ini. Ayahku sebenarnya kurang setuju aku mengikuti lomba-lomba seperti itu. Tapi aku tetap nekat mendaftar. Dan alhamdulillah aku menjadi juara mutlak dari lomba kategori Penyiar Radio dan mendapatkan kontrak beberapa siaran dari radio tersebut. Aku senang sekali. Bukan hanya karena aku menjadi pemenang, tapi karena kata-kata ayahku dalam perjalanan pulang mengambil hadiah.

”Kalau kamu benar-benar serius di suatu bidang jalani saja. Sekarang bapak setuju kalau kamu mau masuk FIKOM. Tapi, coba juga USM ITB ya!”

Jujur aku kehilangan kata-kata pada saat itu. Yang bisa kulakukan hanya mengucapkan syukur karena akhirnya ayahku bisa mengerti keinginan terbesarku walaupun tetap saja ada imbalan atas persetujuannya tersebut. Tapi sekarang aku rela dan ikhlas mengikuti USM ITB, soalnya aku sudah yakin aku tidak akan lulus. Hehehehe.....

Tidak ada komentar: